"Tidak ada tempat yang seperti rumah, tapi rumah tidak selalu menjadi tempat kita untuk pulang"
Pulang? Bagaimana kau mengartikan kata pulang? Apakah kau menganggap kata ini mempunyai artian bahwa kau harus mengunjungi tempat kelahiranmu dan singgah di sana? Atau kau harus kembali dalam perjalanan panjang nan melelahkan lalu pergi menuju ke sebuah tempat yang biasanya kau sebut rumah?
Bagiku, pulang bukanlah sekedar kata yang hanya merujuk kepada kembalinya kita ke sebuah bangunan yang disebut rumah. Bagiku, pulang adalah sebuah kata yang seharusnya membawaku ke berbagai tempat yang nyaman dan tempat yang membuatku merasa dikasihi serta dibutuhkan. Faktanya, tempat yang biasa kusebut rumah bukanlah tempat yang mempunyai ciri-ciri seperti itu.
Lalu di sinilah aku, di dalam gerbong kereta yang sedang meluncur menuju Yogyakarta. Yogyakarta bukanlah kota kelahiranku, bukan pula tempat tinggalku, tapi aku menginginkan berada di sana. Aku ingin berada di tengah-tengah kota dengan kerumunan orang yang tidak kukenal. Karena pada kenyataannya, orang asing jauh lebih menghargaiku dibanding orang-orang terdekatku.
“Misi, Mbak, kursi ini kosong kan?” suara seorang lelaki dengan logat jawa yang kental berhasil membuyarkan lamunanku.
Kudongakan kepalaku lalu mengangguk sambil berkata, “Iya Mas ini kosong. Duduk aja.”
Lelaki itu lantas duduk di hadapanku lalu menggumamkan terima kasih dalam bahasa jawa. Kulit lelaki itu kecoklatan sepertinya terlalu sering berhadapan dengan sang surya, rambutnya hitam legam, sebuah goresan tipis nampak di ujung dagunya—mungkin habis cukuran. Walaupun kulitnya berwarna gelap dan penampilannya kucel, tetapi tetap ada aura misterius yang membuatku selalu ingin menatapnya. Mirip Fedi Nuril, pikirku.
“Ada keperluan apa, Mbak, ke Yogyakarta?” ia bertanya di saat aku sedang menelisik setiap inci dari bagian wajahnya.
“Cuma pingin nyari tempat pulang, Mas.” balasku dengan sebuah senyuman tipis terukir di wajahku. Kuperhatikan ia menampilkan raut wajah kebingungan, namun itu hanya berlangsung selama beberapa saat.
Ia mengangguk, entah untuk apa, lalu ia mengulurkan tangannya dan berkata, “Saya Setyo Ramadhan. Kalau di Yogya saya dipanggil Setyo, tapi kalau di Jakarta biasanya disebut Tyo, biar lebih keren.”
Aku terkekeh lalu menyambut uluran tangannya dan berucap, “Aku Laras Devianti. Panggil aja Laras,”
Setyo menganggukan kepalanya lalu melepaskan jabatan tangan kami dan memerhatikan keadaan di luar gerbong. Hamparan sawah nan luas membentang layaknya sebuah lukisan bergerak yang dibingkai oleh jendela kereta api memenuhi penglihatanku.
“Laras,” gumam Setyo, membuatku menoleh ke arahnya dan kutampilkan wajah bingung. “Tadi kamu bilang kalau kamu pingin nyari tempat pulang? Maksudnya apa? Mau cari rumah di sana? Maaf kalau saya nggak sopan, tapi saya bener-bener penasaran.” Lanjutnya.
Aku mengembuskan napasku pelan, tersenyum tipis lalu bertutur, “Bagiku, tempat pulang bukan hanya rumah atau kampung halaman. Aku bisa pulang kemana saja, ke tempat yang aku mau, ke tempat yang dapat menerimaku.”
“Saya masih belum ngerti,”
“Memang susah untuk dimengerti,” aku berucap sambil mengedikan bahu. Keheningan terjadi di antara kami, hanya terdengar suara orang-orang di sekitar kami yang mengobrol. Aku kembali mengembuskan napas kali ini lebih keras.
Aku memutuskan untuk membeberkan semua ceritaku kepada pria yang baru kukenal 15 menit yang lalu, “Aku tinggal bersama keluargaku yang ada di Jakarta. Ayah, ibu, aku dan seorang kakak laki-laki. Kami hidup harmonis dan menyenangkan. Sampai suatu hari, layaknya sebuah skenario film yang tertata rapi, satu persatu konflik mulai muncul di antara kami.
“Bisnis ayahku bangkrut, alhasil seluruh harta kami digadaikan. Singkat cerita, aku yang dulunya merupakan seorang gadis manja menjadi liar karena keterpurukan. Orangtuaku mengusirku karena sudah nggak tahan dengan perilaku anaknya.”
Aku berhenti sejenak untuk mengambil napas dalam-dalam sekaligus menahan air mata yang sudah mengumpul di pelupuk mataku. Sementara Setyo masih memerhatikanku.
“Aku luntang lantung di jalan, berteman dengan preman sampai akhirnya aku bertemu lagi dengan kakak laki-lakiku. Ia menyuruhku pulang, bukan dalam artian yang sebenarnya. Bukan pulang ke rumah bersama dia dan bergabung dengan keluarga kami lagi. Ia menyuruhku untuk pulang ke tempat di mana aku bisa menemukan kenyamanan dan aku diterima di sana, tapi bukan dengan preman-preman yang menjadi temanku saat itu.” Lanjutku.
“Lalu aku memutuskan untuk berpergian keliling Indonesia dengan uang seadanya. Mencari tempat yang sesuai dengan diriku dan mencari jati diriku yang telah hilang sejak pengusiranku. Aku berusaha bangkit tanpa keluarga sedarahku, mencari makan dengan bekerja di manapun yang penting halal. Yang kusedihkan adalah sampai sekarang mereka tak pernah mencariku barang sedetik pun. Aku merindukan tempat dan kerabat yang menungguku pulang.”
Aku memberhentikan ceritaku sampai di situ dengan muka yang dipenuhi oleh ceceran air mata. Napasku sesenggukan. Setyo masih memandangku dengan tatapan yang—well, tidak dapat ditebak.
“Jadi, setelah kamu keluar dari rumah, kamu mencari jalan pulang ke tempat yang berbeda?” Setyo bersuara setelah selama 20 menit kami hanya mengobrol dalam diam. Air mata yang memenuhi wajahku pun sudah kering.
“Ya, semacam itu lah. Aku pergi ke kota mana pun untuk mencari tempat pulang, mencari orang baru bahkan keluarga baru yang dapat menerimaku. Dan di dalam perjalanan pulang itu pula aku selalu menemukan sesuatu yang baru, bahkan aku menemukan jati diriku yang telah hilang beberapa tahun silam.” Balasku sambil tersenyum miris.
Setyo menganggukan kepalanya. Sepanjang sisa perjalanan, kami hanya bertekur dengan pikiran kami masing-masing. Aku hanya sesekali menengok ke arah Setyo, begitu pun sebaliknya. Beberapa jam kemudian kami sudah sampai di stasiun pemberhentian. Terdengar suara bel ciri khas stasiun.
Aku membereskan barang-barangku dan memastikan semuanya terbawa, Setyo pun begitu. Kemudian kami berjalan untuk ke luar dari gerbong kereta yang sudah mulai sepi. Setyo berjalan di belakangku sambil memegang pundakku, layaknya bocah kecil yang sedang main permainan ular naga.
“Kau sudah pulang,” bisik Setyo sedetik setelah aku menginjakan kakiku di pelataran stasiun.
PS. Karya ini kupersembahkan untuk mimin @kampusfiksi yang komentarnya pedas bukan main. Oke, berikan saran dan komentarnya min ;)
Komentar
Posting Komentar