Wanita itu melongok ke arah arloji yang melingkar di tangannya lalu menoleh ke berbagai arah dengan gelisah. Ia telah melakukan kegiatan itu berulang kali, selama satu jam penuh.
"Lo kenapa sih, Ri? Ada yang lo tunggu?" tanya salah seorang wanita berambut pirang yang duduk di samping wanita sebelumnya. Ia mengaduk-aduk cocktail yang berada di hadapannya.
"Lo kaya nggak tahu aja, Ris! Si Mentari tuh nyariin si Gerhana." sahut seorang wanita berkerudung hitam.
Wanita bernama Mentari itu mendengus kemudian meminum segelas jus yang terpampang di hadapannya. Ia menggigit bibirnya yang dipoles gincu merah padam lalu berkata, "Omongan lo nggak lucu deh, Ta."
Seisi meja tertawa secara serentak. Beberapa orang yang berada di sekeliling mereka lantas menoleh sambil mendecak ringan. Mentari mengulum bibirnya, menahan rasa kesal yang terbit di ulu hatinya.
Selalu begitu. Tiap kali Mentari bertemu dengan sahabat-sahabat lamanya itu, mereka selalu membicarakan tentang Gerhana, cowok yang sewaktu SMA dulu pernah menjalin kasih dengan Mentari.
"Dia sih nggak pernah muncul kalau ada acara reuni kaya gini. Namanya juga Gerhana, munculnya di saat tertentu doang." komentar Ratih, seorang wanita berambut sebahu yang duduk di sebelah Mentari.
Mentari mengembuskan napas kasar kemudian berucap, "Oh please, bisa bahas topik lain nggak?"
Paris, wanita berambut pirang yang duduk di sebelah Mentari berkata sambil menyikut Mentari, "Eh, gue denger gosip! Katanya dia abis cerai sama istrinya. Wih, bisa digebet lagi tuh, Ri."
Mentari mendelik tak percaya kemudian membalas, "Lo gila ya? Lo kira gue cewek macam apa?"
Paris tertawa terpingkal-pingkal. Ia memegang perutnya yang buncit dikarenakan hamil.
Mentari kembali menghela napas berat kemudian bangkit dan hendak pergi dari sana. Namun, sosok seseorang berhasil menunda kepergiannya. Mata mereka yang saling bertubrukan telah berhasil membuat Mentari kembali ke kenangan 20 tahun silam...
***
"Geger!" Mentari berteriak lantang, kemudian menyelinap di antara kerumunan orang. Seorang anak laki-laki yang sebelumnya diteriaki namanya oleh Mentari lantas menengok.
Laki-laki itu membawa dua buah kaleng soda di tangannya. Sebuah senyuman manis tersungging di bibirnya, di pipinya tercipta lubang kecil yang akan terkatup jika senyuman itu hilang dari wajahnya.
"Lama banget sih!" Mentari merajuk sambil bergelayut manja di lengan Gerhana, lelaki itu mengelus pelan rambut Mentari yang sedikit basah akibat terkena tetesan hujan.
Seorang pria berkepala plontos mendekati mereka kemudian mendorong keduanya untuk saling menjauh, "Ini masih lingkungan sekolah ya. Kalau kalian mau mesra-mesraan di tempat sepi sana."
Gerhana tertawa lantang kemudian mendekat ke arah pria itu dan mencium punggung tangannya sambil berkata, "Maaf, Pak, nanti saya cari tempat sepi deh."
Mentari terkikik sementara pria berkepala plontos itu membulatkan mata tak percaya. Pria itu memukul kepala Gerhana hingga ia mengaduh kesakitan. Gerhana mengelus puncak kepalanya.
"Sudah lah. Saya mau mengawasi yang lain. Kalian jaga jarak." tukas pria itu penuh ancaman.
Gerhana menarik lengan Mentari, menuju kantin yang ternyata telah penuh oleh bejubelan orang. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi ke koridor lantai dua.
Gerhana terus menggengam pergelangan tangan Mentari dengan erat, seakan takut orang yang berjalan di belakangnya itu menghilang atau pergi entah kemana. Sementara itu, Mentari berusaha untuk menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Gerhana yang cukup cepat.
Sampai di ujung koridor, akhirnya mereka berhenti. Mentari menghela napas lega sementara Gerhana memerhatikannya dengan sebuah senyum simpul terukir di wajahnya. Merasa diperhatikan, Mentari menoleh ke arah Gerhana.
"Capek ya?" ucap Gerhana sambil mengelus rambut Mentari yang berwarna hitam legam. Satu helai rambut Mentari yang menutupi wajah, segera disingkirkan oleh tangan Gerhana.
Mentari mengangguk sambil mengerucutkan bibir. Kemudian ia berkata, "Kamu tuh jalannya kaya orang mau ngambil hadiah undian, tahu nggak? Buru-buru banget."
Gerhana tertawa kecil kemudian mengacak-acak rambut Mentari. Kaleng soda yang sebelumnya ia bawa lantas disodorkan kepada Mentari.
"Nih minum."
Mentari mengambil soda tersebut dan meneguknya. Gerhana masih tetap memerhatikan perempuan yang ada di hadapannya itu. Matanya berwarna coklat terang, kulitnya tidak begitu putih tapi ia terlihat manis dengan gigi gingsulnya. Gerhana sungguh beruntung memiliki perempuan itu di sampingnya, namun sangat disayangkan sepertinya ini semua harus berakhir sampai di sini.
Gerhana menghela napas. Ia berusaha mengatur detak jantungnya yang tak terkendali. Sebuah kalimat pernyataan ingin ia lontarkan kepada Mentari, tapi detik itu lidahnya terasa sangat kaku.
Haruskah aku mengungkapkannya sekarang? Batin Gerhana berbicara.
Gerhana kembali menghela napas, namun kali ini terdengar lebih keras sehingga menyadarkan Mentari bahwa Gerhana sedang mempunyai masalah. "Kamu kenapa, Ger? Lagi ada masalah? Cerita dong sama aku?"
Gerhana menoleh ke arah Mentari, ia melihat Mentari sedang tersenyum tipis seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, tidak. Semuanya tidak akan baik-baik saja.
Menghindari wajah Mentari yang dipenuhi oleh semburat kasih sayang, Gerhana mengalihkan pandangannya menuju lapangan outdoor yang ada di bawah mereka. Ia memerhatikan beberapa orang yang berlarian, berusaha memperebutkan satu bola.
"Kita putus, Tar." pernyataan itu akhirnya terlontar dari mulut Gerhana. Walaupun hanya sekadar bisikan, Mentari dapat mendengar itu dengan jelas.
"Hah? Tadi kamu bilang apa?" tanya Mentari, mencoba memastikan bahwa pernyataan yang sebelumnya ia dengar merupakan sebuah kesalahan.
Gerhana menghela napas untuk yang kesekian kalinya, kemudian ia berbalik untuk menghadap Mentari. Raut wajah Mentari menyiratkan kesedihan dan kebingungan. Ah, ekspresi itu membuat Gerhana tak tega.
"Aku pengen kita putus, Tar." ucap Gerhana sambil menunduk.
"Kenapa?"
Gerhana menggaruk tenguk lehernya. Haruskah ia mengutarakan alasan yang sebenarnya? Ah, itu hanya akan membuatnya terlihat lemah.
"Aku akan pindah ke Jerman untuk meneruskan sekolah dan bisnis Papa. Aku akan tinggal untuk waktu yang lama. Mungkin 10 atau 20 tahun lagi aku baru kembali ke Indonesia." jelas Gerhana, terselip sedikit kebohongan di sana.
Mentari menyeka hidungnya dan matanya yang basah. Kemudian berucap, "Aku bisa nunggu sampai kamu balik ke sini."
Gerhana menggeleng kemudian mengelus pipi Mentari yang sudah dipenuhi oleh tetesan air mata. Ia telah melanggar janjinya. Gerhana pernah berjanji tidak akan pernah membuat Mentari menangis, ia berjanji untuk menjaga air mata itu tetap pada tempatnya.
Namun sekarang, janji tinggalah janji. Air mata itu telah luruh dan membanjiri pipi mulus Mentari.
Mentari yang biasanya bersinar terang, kini redup karena Gerhana.
"Nggak semudah itu, Tar. Aku takut kamu menanti fatamorgana, menanti hal yang belum tentu ada. Aku takut aku nggak bakal kembali kesini." bisik Gerhana yang masih terus mengelus pipi Mentari.
Mentari semakin terisak. Tangannya menutupi keseluruhan wajahnya yang mungkin telah memerah dan basah. Tak tega melihat gadisnya tersedu-sedu, Gerhana menarik Mentari ke dalam pelukannya. Mendekapnya dengan erat untuk menghalau suara tangisannya yang memilukan.
Satu tetes air mata meluncur di pipi Gerhana, walaupun ia sudah berusaha mati-matian menahannya. Dengan cepat, ia seka air mata itu supaya tidak terlihat oleh Mentari. Supaya tidak menjadi beban untuk perpisahannya dan Mentari.
Setengah jam berlalu, Gerhana dan Mentari masih memeluk satu sama lain. Suara isak tangis Mentari mulai meredam. Lantas Gerhana melepaskan pelukan itu, kemudian memandang Mentari.
"Jangan nangis dong, Tar. Wajahmu jelek loh kalau nangis."
Tak ada tawa yang tersembur dari Mentari, bahkan secercah senyum pun tak mau singgah di wajahnya. Mentari sangat terluka dan Gerhana tahu itu.
"Silakan pergi, Ger. Jika Tuhan mengizinkan, kita akan bertemu 10 atau mungkin 20 tahun lagi." ucap Mentari kemudian ia berlari meninggalkan Gerhana.
Gerhana sadar, detik itu ia telah kehilangan satu orang yang ia cinta untuk yang kedua kalinya.
***
"Apa kabar?" sosok itu menyapa Mentari dengan sebuah senyuman, seakan ia telah lupa kejadian beberapa tahun silam. Senyuman itu masih sama, senyuman manis milik pria yang pernah ia cintai atau masih ia cintai?
"Hai, Gerhana." Mentari membalas dengan canggung. Ia merasakan debaran hebat di jantungnya. Ia berharap semoga orang yang berdiri di hadapannya sekarang tidak mendengar.
Gerhana menggaruk tenguknya kemudian berucap sambil menunjuk dua buah kursi yang berada di kejauhan, "Ngobrol di sana yuk?"
Mentari mengangguk, kemudian mengikuti langkah Gerhana. Ia tak menyangka sosok yang pernah ia nanti kini berada di depannya. Well, Tuhan tak pernah tidur, Ia pasti mengabulkan doa hamba-Nya, ia hanya perlu waktu yang tepat untuk menjawab doa itu.
Seperti hari ini, Mentari dan Gerhana kembali dipertemukan setelah terpisah oleh jarak dan waktu yang tak sebentar serta tak dekat. Meskipun telah dipertemukan, tidak ada yang pernah tahu kapan mereka akan bersatu untuk selamanya, kan?
Sesusungguhnya masa depan itu sesuatu yang ajaib. Kau hanya bisa berharap dan menerkanya dari kejauhan.
SELESAI.
-----
Cerita ini sudah pernah aku publikasikan di akun wattpadku. Jika kalian ingin membaca karyaku yang lain cek akun kidrauhlia. Terimakasih.
Komentar
Posting Komentar