"Coba kau cari satu hal yang menakjubkan sekaligus membahagiakan! Bagiku, melihat orang yang kucinta mematung di hadapan merupakan satu hal itu."
***
Sabtu, 12 Februari 2015. Aku ingat sekali, hari itu merupakan kali pertama Aku dan Ainun bertemu. Kami bertemu di sudut toko kumuh di pinggiran kota Jakarta, ia melihatku dengan pandangan takjub. Seperjalanan kemudian, aku telah berada di dalam kamarnya.
Lantas disandarkannya aku di dinding. Tangannya yang sehalus tenunan sutra, mengelus pelan sekujur tubuhku. Bibirnya yang merah menggoda berkomat-kamit, namun aku tak mendengar suara keluar dari sana.
Detik ini, aku sudah tinggal selama 249 hari di dalam kamar Ainun. Kamarnya tidak besar, tapi tak pula kecil. Ia memiliki banyak sekali boneka, entah dari mana boneka itu berasal.
Aku bersandar di dinding, di bagian tengah kamar. Dari sini, aku dapat melihat seisi kamar dengan leluasa. Pemandangan yang paling kusukai adalah ketika Ainun sedang tertidur pulas di atas kasurnya, mendengkur pelan bagai seekor kucing.
"Kamu mau makan apa?" kata Ainun kepada seorang lelaki berperawakan tinggi besar. Lelaki itu sudah beberapa kali datang kemari, terkadang hanya numpang makan. Kadang pula menginap, untuk menemani Ainun menonton film kesayangannya.
Lelaki dengan rambut model spike itu lantas menyahut, "Apapun yang penting kamu yang masak."
Ainun tertawa manis. Ah, rasanya aku begitu cemburu ketika melihatnya tertawa sebab orang lain. Aku ingin sekali membuatnya tertawa lepas, namun apalah aku yang hanya bisa mematung, memandanginya dengan rasa kagum yang melebur di dalam diri.
"Kamu nggak takut nyimpen beginian?" tanya lelaki itu sambil menunjuk ke arahku. Matanya menilisik ke sekujur tubuhku. Rasanya aku ingin mencongkel kedua bola matanya yang lancang itu. Hanya Ainun yang boleh memandangiku, tak boleh ada yang lain.
Ainun menyahut dari dapur, "Nggak kok. Aku malah seneng. Rasanya aku nggak pernah sendirian di kamar ini kalau ada dia."
Ha, aku tersenyum puas di dalam hati. Ainun memerlukan kehadiranku dan aku sangat senang dengan hal itu.
"Tapi kok aku ngerasa ada yang aneh ya?" ucap lelaki itu masih dengan menatapku lurus-lurus. Ia menyipitkan matanya, kemudian menoleh ke arah dapur.
Tak lama setelahnya, Ainun kembali dari dapur. Ia membawa dua buah piring dengan isi di tangannya. Langkahnya terhenti di sebelah lelaki itu, di hadapanku, "Apanya yang aneh sih? Nggak ada yang aneh ah."
"Aneh. Tiap kali aku ke sini, rasanya tuh aku diperhatiin sama dia," ungkap lelaki itu lalu dan menunjuk lagi ke arahku, sementara Ainun memindahkan dua piring di tangannya ke atas meja. Lelaki itu kembali bersuara, "Tatapannya pun sinis ke aku. Kaya ada hawa membunuh gitu."
Ainun menautkan alisnya kemudian tertawa kecil, "Ah, penulis dan jiwa khayalannya. Kamu tuh kebanyakan bikin cerita horror, makanya jadi paranoid kaya begini."
"Aku bukan paranoid," tukas lelaki itu sambil memincingkan mata ke arah Ainun.
"Udahlah. Mendingan kita makan dulu, yuk?" ajak Ainun sambil mengelus pelan pundak lelaki itu. Sialan, tangan Ainun seharusnya hanya mengelusku. Ia tak boleh menaruh tangan itu di tubuh orang lain, selain tubuhku. Gejolak rasa cemburu bergemuruh di dalam jiwaku.
Lelaki itu kembali melirik ke arahku, sedetik kemudian raut wajahnya menampilkan keterkejutan. Jari telunjuknya kembali teracung ke arahku, "Tuh! Matanya berkedip, Ainun! Ini bukan ilusi! Aku lagi nggak mabuk! Dan tidurku teratur selama beberapa hari belakangan! Nggak mungkin kan aku ngelindur?"
Ainun menoleh ke arahku. Ia memerhatikanku dengan seksama. Matanya menampilkan keingintahuan yang besar, sementara wajahnya menampilkan kebingungan yang kentara.
*
Gelap dan bau debu terasa di mana-mana. Tak ada setitik cahaya pun yang masuk ke ruangan ini. Beberapa jam yang lalu, Ainun mendepakku keluar dari kamarnya hanya karena lelaki itu. Lelaki penakut yang ia pacari. Sialan.
Kupejamkan mataku untuk sejenak, merasakan gelap dan kesenyapan yang terasa pekat. Aku memikirkan berbagai cara dan kemungkinan untuk kembali ke tempatku semula, dinding kamar Ainun yang berwarna putih pucat.
Secercah harapan muncul ketika kudengar sayup-sayup suara orang berbincang berada di dekat pintu. Dengan penuh tekad, aku mencoba memanggil mereka. Memanggil mereka untuk mendekat.
Sedetik kemudian, pintu kayu itu terkuak lebar. Menampilkan dua siluet manusia yang menatap ke arahku.
*
Aku tersenyum dalam hati. Diriku sudah kembali bersandar di tembok kamar Ainun. Dua orang manusia tadi yang membantuku untuk mencapai tempat ini, tempat yang sudah biasa kusebut rumah.
Pukul sebelas malam dan Ainun belum pulang dari kantornya. Ia pasti sedang lembur. Mungkin beberapa menit lagi ia akan membuka pintu dan terkejut melihat eksistensiku di dalam kamarnya. Well, aku akan sangat bahagia jika ia terkejut karena diriku.
Tik. Tok.
Jam terus berdetik. Aku tak tahan menunggu dalam kesendirian. Sesekali aku bersenandung kecil, menyuarakan lagu nina bobo yang biasa kunyanyikan untuk Ainun di kala ia sudah tertidur pulas.
Kret...
Suara pintu yang dibuka terdengar, lalu munculah sosok Ainun dengan wajah lelah. Ia merapikan rambutnya yang mencuat kesana-kemari. Lalu tangannya dengan cekatan melepas stiletto yang dipakainya.
Setelah itu, ia melempar sepatu itu ke sembarang arah. Ia masih belom menyadari kehadiranku di kamar ini. Kaki kecilnya melangkah ke arah sofa. Kemudian ia membanting tubuhnya di sana. Lehernya ia sandarkan di sofa, sementara kakinya ia taruh di atas meja.
Matanya terpejam. Sepertinya ia sangat kelelahan. Ingin rasanya aku merengkuhnya ke dalam pelukan, lalu memberinya suntikan semangat. Sayang sekali itu hanya sebuah keinginan.
Beberapa menit kemudian, mata Ainun kembali terbuka. Mata itu menggeledah ke seisi kamar, hingga akhirnya mata itu bertemu dengan mataku. Ainun menarik napas berat, sepertinya ia sangat terkejut melihatku berada di sini.
Untuk kali pertama, aku mencoba melemparkan senyum ke arahnya. Namun, bukannya membalas, ia malah membungkam mulutnya dengan tangan.
Ainun mengambil ponsel dari dalam tasnya. Kemudian mengetikan sesuatu di ponsel itu, kulihat tangannya bergetar hebat. Apakah Ainun sakit? Kenapa tangannya bergetar seperti itu?
Kemudian Ainun menempelkan ponsel itu di telinga kanannya. Kulihat wajahnya memucat dan bibirnya pun bergetar. Astaga, ada apa dengan Ainun?
Setelah beberapa detik menunggu jawaban, Ainun akhirnya bersuara dengan sedikit gagap, "Dim..as... Fi...gu...ra itu balik lagi."
Aku tak dapat mendengar si lawan bicara, namun kemudian Ainun kembali berkata, "I...ya, figura yang kemarin kamu taruh di gudang. Benda itu tiba-tiba ada di kamarku lagi."
Ainun mulai sesenggukan. Haruskah aku merasa bersalah atau mungkin aku merasa bahagia? Karena pesta kejutanku akhirnya berhasil dilaksanakan.
"Iya aku tunggu kamu. Kayanya figura itu emang harus dimusnahkan deh," ucap Ainun dengan entengnya. Perkataan itu membuatku berpikir, lebih baik memusnahkan daripada dimusnahkan.
***
Komentar
Posting Komentar