“It’s
summer,” suara perempuan dari telepon itu berhasil membuat
Dave bergidik. Matanya menatap lurus ke arah tembok kosong di hadapannya.
“Oh, Mrs. Summer! Apa ada sesuatu yang tertinggal di
antara kita sehingga kau memutuskan untuk menghubungiku?” balas Dave sarkastik.
Perempuan di ujung telepon itu mengembuskan napasnya dengan berat.
“Dengar, aku ingin bertemu denganmu sore ini di kafe
biasa. Jangan beralasan oke? Aku tahu kau tak akan menyibukan dirimu di sore
hari.” ujar perempuan itu. Baru saja Dave ingin beralasan bahwa dirinya masih
mempunyai banyak pekerjaan.
Dave mengembuskan napas pelan lalu membalas, “Untuk
apa pertemuan ini? Kau ingin mengucapkan selamat tinggal? Kau bisa pergi sesuka
hatimu tanpa perlu mengucapkan selamat tinggal, Nat.”
“Aku hanya ingin bertemu denganmu, itu saja.
Kutunggu kau di tempat biasa pukul 3 sore.” Ucap Natalie Summer lalu ia
memutuskan sambungan teleponnya.
Dave Winter menggeram sambil mengacak-acak
rambutnya. Bagaimana bisa seorang pemain wanita macam dia dipermainkan oleh
wanita seperti Summer? Apakah ini sebuah balasan dari doa-doa wanita yang
pernah ia sakiti?
Sementara itu di sisi lain, Natalie Summer tengah
berkutat dengan komputernya. Ia hendak pergi ke Inggris untuk melanjutkan
kuliahnya dan menemukan kehidupan baru tanpa Dave Winter.
Mata Natalie memang terfokus kepada layar komputer
di depannya namun pikirannya tetap berpusat kepada Dave. Rasa bersalah
sekaligus cinta mengungkunginya. Sialan, kenapa dia menjadi emosional seperti
ini?
Natalie memutuskan untuk menyudahi kegiatannya lalu
beranjak menuju sofa empuk di ujung ruang,
tempat ia dan Dave pernah—oh tidak,
keluarkan bayangan menjijikan itu dari otakku, pikir Natalie.
Ia melangkah menuju kamar tidurnya lalu membaringkan
tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit untuk sesaat kemudian ia
terlelap.
***
Pukul 3 sore, entah apa yang merasuki diri Dave
hingga ia memutuskan untuk memenuhi permintaan Natalie. Dave datang lebih awal
dibanding Natalie. Matanya tak henti melongok ke arah jam Michael Kors yang ia
pakai. Sudah jam 3 lewat 15 menit tapi Natalie belum muncul juga.
Apakah ini sebuah tipuan Natalie yang lain? Sialan,
pikir Dave.
Bangkit. Dave hendak meninggalkan tempat itu namun
saat itu pula sosok Natalie Summer muncul dari balik pintu kaca. Wanita itu
memakai setelan musim dingin yang menutupi sekujur tubuhnya. Ia celingukan
mencari sosok Dave lalu melangkah begitu melihat Dave sedang berdiri
memandangnya di sebelah meja kosong.
“Kukira kau tidak akan datang.” Sembur Dave ketika
Natalie sampai di hadapannya. Natalie tersenyum miris lalu mendudukan dirinya
di atas kursi. Ia melepas syal dan kupluk yang dipakainya.
“Maaf kau harus menunggu. Duduklah dan berbincang
denganku.” pinta Natalie ringan. Dave membalas dengan decakan namun ia segera
menaruh bokongnya di kursi di hadapan Natalie.
“Apalagi yang harus diperbincangkan, Nat?” tukas
Dave sambil mendesah pelan. Matanya menatap langit-langit kafe sementara
Natalie mengotak-atik menu lalu memanggil pelayan.
Ketika pelayan ada di hadapan Natalie dan Dave,
Natalie segera mengutarakan apa yang ingin ia pesan dan bertanya pada Dave apa
yang ia inginkan. Pelayan manggut-manggut setelah Natalie menyebutkan pesanan
mereka.
“Jadi, satu cangkir coklat panas dan sebotol bir?”
ucap pelayan itu memastikan pesanan Natalie dan Dave. Natalie mangangguk sambil
tersenyum. Matanya beralih kepada Dave ketika pelayan itu telah pergi dari
hadapan mereka.
“Bicara apa saja. Masa depan kita misalnya?” tukas
Natalie sambil memandang Dave dengan tatapan berbinar seperti saat kali pertama
ia bertemu dengan Dave, sementara itu Dave menatap Natalie dengan muak.
“Kau gila? Kau pikir setelah apa yang terjadi satu
minggu lalu kita masih punya masa depan?” desis Dave dengan sinis. Natalie
tertawa ringan membuat Dave ingin menampar wanita itu.
Sekejap kemudian pelayan datang dengan satu nampan
yang berisi pesanan mereka. Satu cangkir cokelat panas diserahkan kepada
Natalie dan satu bir kepada Dave.
Natalie menyesap pelan minumannya sementara Dave
langsung menenggak bir itu hingga setengah botol. Natalie mengembuskan napas
panjang lalu berkata, “Bukan itu maksudku. Maksudku membahas masa depan kita
masing-masing. Bagaimana kau melanjutkan hidupmu tanpa aku dan bagaimana aku
melanjutkan hidup tanpamu.”
Dave merasa ditampar oleh ucapan Natalie. Dave
menenggak birnya lebih banyak lagi lalu berucap, “Aku akan melanjutkan hidupku
seperti biasanya. Bekerja dan menghamburkan uangku dengan cara membayar
pelacur. Bagaimana denganmu? Kau akan pergi dari kota ini lalu mengencani pria
kaya lainnya yang dapat kau tipu, eh?”
Natalie menatap Dave tak percaya. Ia tertawa
terbahak-bahak untuk menutupi rasa sakit yang bersemi jauh di lubuk hatinya.
“Apa kau merasa tertipu olehku?” Natalie bertanya
kepada Dave. Dave kembali menenggak birnya hingga tak ada yang tersisa di dalam
botolnya lalu ia membanting botol birnya di atas meja hingga botol itu pecah.
“Beginilah keadaanku ketika aku menyadari kau tidak
akan datang di hari aku akan melamarmu,” Tutur Dave sambil menunjuk serpihan
botol yang ada di hadapan mereka. “Padahal kau sudah berjanji untuk datang
malam itu. Apakah itu bukan termasuk ke dalam penipuan?” lanjut Dave.
Melamar? Itu sudah terlalu jauh, pikir Natalie. Ia
kira hari itu akan menjadi hari yang mereka jalani seperti biasa. Hanya keluar
untuk makan malam dan pulang untuk berpelukan di atas sofa empuk sambil
menonton film. Natalie tak pernah menyangka Dave akan melamarnya, seorang
cassanova seperti Dave tak akan pernah melakukan hal seperti itu.
“Maafkan aku soal malam itu, Dave. Aku benar-benar
menyayangimu tapi aku tidak bisa berkomitmen denganmu atau bersamamu
selamanya.” ujar Natalie sambil menatap jari-jari tangannya.
“Kenapa? Kenapa kita tak bisa bersama? Aku telah
berusaha untuk menjadi seseorang lelaki sejati dengan cara ingin bertunangan
dan menikah denganmu tapi kau malah pergi menjauh tanpa alasan.” tuntut Dave.
“Because just
like summer and winter. If we were being together, the worlds would be end. We
would never be together, Dave. We
can’t.” ucap Natalie sambil meremas tangan Dave yang berada di atas meja.
Dave tak menarik tangannya yang diselimuti oleh tangan Natalie. Selama beberapa
saat mereka hanya duduk dalam diam.
Natalie melepaskan tangannya dari tangan Dave, ia
merogoh tasnya untuk mengambil satu amplop putih lalu menyerahkannya kepada
Dave. Tidak ada sesuatu yang spesial dilihat dari penampilan amplop polos itu.
Dave memincingkan matanya tajam dan mengambil amplop
itu lalu hendak membukanya, namun tangan Natalie menahan tangan Dave yang
sedang berusaha membuka amplop itu.
“Buka setelah aku pergi dari hadapanmu, oke?” pinta
Natalie. Dave membalas dengan anggukan pasrah.
Natalie menghabiskan cokelat panas yang tidak lagi
panas, sementara Dave sedang memfokuskan diri pada pikiran kosongnya. Setelah
mengosongkan cangkirnya, Natalie mengucapkan selamat tinggal dan mengecup pipi
Dave dengan lembut lalu pergi meninggalkan Dave yang masih diam membisu.
Dave menatap kepergian Natalie dengan tatapan
fluktuatif. Hatinya terasa kosong, lambungnya serasa diperas oleh seseorang,
dan kerongkongannya tercekat. Ia ingin menghalau kepergian Natalie, tapi ia tak
bisa. Ia tak bisa memaksa.
Setelah Natalie keluar dari kafe itu, tangan Dave
dengan cekatan mengambil amplop putih yang diberikan Natalie dan membuka surat
itu kemudian membacanya. Tangannya bergetar ketika melihat isi surat itu.
Natalie mencintainya.
Di saat Dave menyudahi membaca bagian terakhir surat
itu, Ia mendengar suara melengking dari kejauhan. Beberapa orang
berbondong-bondong mendekati suara itu bahkan pelayan kafe berlarian keluar
untuk melihat apa yang terjadi.
“Summer,” desis Dave sambil meremas surat itu lalu
ia berlari keluar mengikuti kerumunan orang.
***
Komentar
Posting Komentar