“Pikiran manusia merupakan hal yang paling menakjubkan sekaligus menyeramkan,” kata lelaki tua itu sambil menaruh satu persatu buku yang sebelumnya berserakan di lantai ke atas etalase bening. Ia beberapa kali meniup satu atau dua buku yang berlumuran debu.
Aku bersedekap sambil
duduk di atas sofa berbantalan empuk. Mataku tak henti menatap perapian yang
masih menyala di hadapanku, sementara telingaku tak dapat kusumpal dengan apa
pun. Secara terpaksa, aku harus mendengarkan celotehan pria tua itu sepanjang
hari.
“Aku jadi ingat, beberapa
waktu yang lalu aku digerayangi oleh petinggi-petinggi negara dikarenakan
pemikiranku yang terlampau hebat. Bayangkan! Aku berhasil menciptakan sebuah
mesin yang mampu memusnahkan seluruh manusia di nusantara ini.” Ia mengambil
napas sejenak, kemudian melanjutkan, “lalu kekacauan itu terjadi. Seluruh warga
berlomba-lomba untuk menjatuhkanku. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah
menjadi makanan pembuka dalam peringatan kemerdekaan, dikarenakan orang-orang
berebutan ingin membakar dan memakan dagingku.”
Kuputar bola mataku. Ia
selalu berlebihan terhadap sesuatu. Ya, hiperbolis. Menurutku, orang-orang
bahkan tak akan mau menyentuh kulitnya yang pada saat itu berlumuran lumpur dan
bercampur dengan kotoran kerbau. Uh. Bulu kudukku lantas bergidik hanya dengan
membayangkan kejadian kala itu.
“Seberapa hebat dia?”
tanya seorang perempuan tua yang sedari tadi menatap ke arah si lelaki tua.
Perempuan itu Rita namanya. Ia adalah dokter yang telah menangani banyak orang sakit
jiwa. Salah satunya pasiennya adalah lelaki tua itu.
“Hebat sekali. Dia
seorang negosiator yang baik. Oh bukan. Dia seorang negosiator yang sangat
sangat sangat luar biasa baik.” Lelaki tua itu menanggapi, lagi-lagi secara
hiperbolis.
Lelaki tua kemudian duduk
di kursi yang berhadapan dengan Rita. Meja di tengah mereka sebagai pemisah.
Rita membenarkan posisi kacamata tipis yang melorot di pangkal hidungnya yang
kecil. Tangan kiri rita dengan cekatan mencorat-coret kertas yang beralaskan
papan kecil di tangan kanannya.
“Lalu, bisakah aku
berbicara dengan dia sekarang?”
Hening. Lelaki tua tidak
menjawab pertanyaan Rita.
“Bagaimana?” desak Rita.
Lelaki tua itu memainkan
jari-jarinya, pertanda ia sedang gugup bukan kepalang. Aku yang masih duduk di
singgasanaku tersenyum sinis. Rita hendak bersuara kembali namun dipotong oleh
si lelaki tua, “Ia sedang mendengarkanmu, tetapi aku tak setuju jika kau
berbicara dengannya.”
“Kenapa?”
“Aku bisa menjadi media
penghubung antara kau dan dia.” Lelaki tua itu berkilah. Ia kemudian bangkit
dari duduknya lalu tangannya dengan lihai menari-nari di atas tumpukkan buku
baru yang belum dipindahkan ke atas etalase.
Rita berdeham kemudian
bersuara, “bukan itu yang kutanyakan, Dilan.”
“Kalau kau berbicara
dengannya maka keberadaanku akan terancam, Aku bisa mati.” tukas si lelaki tua.
Ia menampilkan wajah sendu, seakan-akan minta dikasihani.
Rita menautkan kedua
alisnya kemudian tangannya dengan gesit melarikan pulpen di atas kertas yang
sebelumnya. “Sebelumnya kau bilang, dia penyelamatmu. Lalu sekarang, kau bilang
karena dia kau bisa mati. Apakah dia seseorang yang dapat menentukan hidup dan
matimu? Layaknya Tuhan?”
“Bisakah kita menyudahi
wawancara hari ini? Aku lelah.” Lelaki tua mengangkat tangan kanannya ke udara,
tanda menyerah. Kemudian ia duduk berhadapan lagi dengan Rita. Rita mengangguk
patuh, sementara si lelaki tua memijat pangkal hidungnya.
Tak nyaman dengan suasana
yang tiba-tiba hening, aku bangkit dari sudut ternyamanku kemudian berbisik
kepada lelaki tua itu, “Sebaiknya kau istirahat. Saya akan menggantikan
posisimu.”
“Tidak!” lelaki itu
lantas berteriak lantang hingga Rita tersentak, sesuatu yang ditulis Rita
kemungkinan berubah menjadi sebuah garis abstrak. Melihat reaksi lelaki tua dan
raut wajahnya yang mengkerut panik, aku tertawa geli.
Rita menautkan kedua
alisnya bingung. “Tidak? Apa yang tidak?”
“Saya serius, Ronald. Kau
masih terlalu muda untuk bersemayam di tubuh ringkih itu. Kau butuh rehat
sejenak dan menemukan tubuh yang baru untuk kau jadikan inang.” Kusiramkan
kata-kata yang serupa bensin penyulut ke telinga si lelaki tua.
Lelaki tua tertawa sinis.
“Aku Dilan, bukan Ronald. Oh jangan lupa, aku lebih dominan di tubuhmu.”
Aku memutar bola mataku
sambil berdecak malas. “Tak ada gunanya. Orang-orang sudah tidak takut
denganmu. Mereka telah mengerti bahwa seorang Dilan Kartayasa mempunyai
kepribadian ganda. Lalu yang membuat onar itu bukanlah Dilan, melainkan
kepribadiannya yang buruk dan kemungkinan akan menghilang jika dibawa ke
psikiater.”
“Aku tak peduli. Tubuh
ini sudah jadi milikku.” Lelaki tua mendesis geram.
Rita yang kemungkinan
telah menyadari keberadaanku yang berada di sekitarnya lantas memotong, “Aku
perlu bicara dengan dia.”
“Tidak.”
Untuk kali kesekian aku
memutar bola mataku, kemudian kuhela napas kasar. “Saya sudah bosan
mendengarkan celotehanmu yang tiada henti. Coba kau duduk dulu di depan
perapian milik saya. Saya telah menyediakan teh hangat untukmu.”
“Aku tidak sudi.” Lelaki
tua membalas dengan bengis.
Rita memberanikan diri
menaruh telapak tangannya di atas punggung tangan si lelaki tua. “Biarkan aku
berbicara dengannya, kupastikan keberadaanmu tidak akan terancam.”
“Kau memang bisa memastikan, tetapi dia
tidak.”
Aku berdecak dan merasa
muak dengan sikapnya yang terlalu keras kepala. Kutarik dirinya dari depan
cermin diri, lalu mendudukannya secara paksa di atas sofa yang selama beberapa
tahun telah membuatku nyaman. Ia memberontak, berusaha mendorongku ke perapian.
Namun dengan cekatan aku menghindarinya, dan berlari secepat kilat ke depan
cermin diri.
Perkelahian dalam angan
itu berlangsung sangat cepat. Sesaat kemudian, akhirnya aku sampai di tempatku
sebenarnya, di tubuh ringkih yang kemungkinan siap ditimbun tanah. “Halo, Rita.
Saya Dilan. Bantu saya mengistirahatkan Ronald, ya? Ia sudah terlalu banyak
berkontribusi dalam hidup saya. Saya takut ia mati kelelahan.”
Komentar
Posting Komentar