Langsung ke konten utama

Cerpen : Rehat

picture source: google.com

“Pikiran manusia merupakan hal yang paling menakjubkan sekaligus menyeramkan,” kata lelaki tua itu sambil menaruh satu persatu buku yang sebelumnya berserakan di lantai ke atas etalase bening. Ia beberapa kali meniup satu atau dua buku yang berlumuran debu.

Aku bersedekap sambil duduk di atas sofa berbantalan empuk. Mataku tak henti menatap perapian yang masih menyala di hadapanku, sementara telingaku tak dapat kusumpal dengan apa pun. Secara terpaksa, aku harus mendengarkan celotehan pria tua itu sepanjang hari.

“Aku jadi ingat, beberapa waktu yang lalu aku digerayangi oleh petinggi-petinggi negara dikarenakan pemikiranku yang terlampau hebat. Bayangkan! Aku berhasil menciptakan sebuah mesin yang mampu memusnahkan seluruh manusia di nusantara ini.” Ia mengambil napas sejenak, kemudian melanjutkan, “lalu kekacauan itu terjadi. Seluruh warga berlomba-lomba untuk menjatuhkanku. Kalau tidak ada dia, mungkin aku sudah menjadi makanan pembuka dalam peringatan kemerdekaan, dikarenakan orang-orang berebutan ingin membakar dan memakan dagingku.”

Kuputar bola mataku. Ia selalu berlebihan terhadap sesuatu. Ya, hiperbolis. Menurutku, orang-orang bahkan tak akan mau menyentuh kulitnya yang pada saat itu berlumuran lumpur dan bercampur dengan kotoran kerbau. Uh. Bulu kudukku lantas bergidik hanya dengan membayangkan kejadian kala itu.

“Seberapa hebat dia?” tanya seorang perempuan tua yang sedari tadi menatap ke arah si lelaki tua. Perempuan itu Rita namanya. Ia adalah dokter yang telah menangani banyak orang sakit jiwa. Salah satunya pasiennya adalah lelaki tua itu.

“Hebat sekali. Dia seorang negosiator yang baik. Oh bukan. Dia seorang negosiator yang sangat sangat sangat luar biasa baik.” Lelaki tua itu menanggapi, lagi-lagi secara hiperbolis.

Lelaki tua kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Rita. Meja di tengah mereka sebagai pemisah. Rita membenarkan posisi kacamata tipis yang melorot di pangkal hidungnya yang kecil. Tangan kiri rita dengan cekatan mencorat-coret kertas yang beralaskan papan kecil di tangan kanannya.

“Lalu, bisakah aku berbicara dengan dia sekarang?”

Hening. Lelaki tua tidak menjawab pertanyaan Rita.

“Bagaimana?” desak Rita.

Lelaki tua itu memainkan jari-jarinya, pertanda ia sedang gugup bukan kepalang. Aku yang masih duduk di singgasanaku tersenyum sinis. Rita hendak bersuara kembali namun dipotong oleh si lelaki tua, “Ia sedang mendengarkanmu, tetapi aku tak setuju jika kau berbicara dengannya.”

“Kenapa?”

“Aku bisa menjadi media penghubung antara kau dan dia.” Lelaki tua itu berkilah. Ia kemudian bangkit dari duduknya lalu tangannya dengan lihai menari-nari di atas tumpukkan buku baru yang belum dipindahkan ke atas etalase.

Rita berdeham kemudian bersuara, “bukan itu yang kutanyakan, Dilan.”

“Kalau kau berbicara dengannya maka keberadaanku akan terancam, Aku bisa mati.” tukas si lelaki tua. Ia menampilkan wajah sendu, seakan-akan minta dikasihani.

Rita menautkan kedua alisnya kemudian tangannya dengan gesit melarikan pulpen di atas kertas yang sebelumnya. “Sebelumnya kau bilang, dia penyelamatmu. Lalu sekarang, kau bilang karena dia kau bisa mati. Apakah dia seseorang yang dapat menentukan hidup dan matimu? Layaknya Tuhan?”

“Bisakah kita menyudahi wawancara hari ini? Aku lelah.” Lelaki tua mengangkat tangan kanannya ke udara, tanda menyerah. Kemudian ia duduk berhadapan lagi dengan Rita. Rita mengangguk patuh, sementara si lelaki tua memijat pangkal hidungnya.

Tak nyaman dengan suasana yang tiba-tiba hening, aku bangkit dari sudut ternyamanku kemudian berbisik kepada lelaki tua itu, “Sebaiknya kau istirahat. Saya akan menggantikan posisimu.”

“Tidak!” lelaki itu lantas berteriak lantang hingga Rita tersentak, sesuatu yang ditulis Rita kemungkinan berubah menjadi sebuah garis abstrak. Melihat reaksi lelaki tua dan raut wajahnya yang mengkerut panik, aku tertawa geli.

Rita menautkan kedua alisnya bingung. “Tidak? Apa yang tidak?”

“Saya serius, Ronald. Kau masih terlalu muda untuk bersemayam di tubuh ringkih itu. Kau butuh rehat sejenak dan menemukan tubuh yang baru untuk kau jadikan inang.” Kusiramkan kata-kata yang serupa bensin penyulut ke telinga si lelaki tua.

Lelaki tua tertawa sinis. “Aku Dilan, bukan Ronald. Oh jangan lupa, aku lebih dominan di tubuhmu.”

Aku memutar bola mataku sambil berdecak malas. “Tak ada gunanya. Orang-orang sudah tidak takut denganmu. Mereka telah mengerti bahwa seorang Dilan Kartayasa mempunyai kepribadian ganda. Lalu yang membuat onar itu bukanlah Dilan, melainkan kepribadiannya yang buruk dan kemungkinan akan menghilang jika dibawa ke psikiater.”

“Aku tak peduli. Tubuh ini sudah jadi milikku.” Lelaki tua mendesis geram.

Rita yang kemungkinan telah menyadari keberadaanku yang berada di sekitarnya lantas memotong, “Aku perlu bicara dengan dia.”

“Tidak.”

Untuk kali kesekian aku memutar bola mataku, kemudian kuhela napas kasar. “Saya sudah bosan mendengarkan celotehanmu yang tiada henti. Coba kau duduk dulu di depan perapian milik saya. Saya telah menyediakan teh hangat untukmu.”

“Aku tidak sudi.” Lelaki tua membalas dengan bengis.

Rita memberanikan diri menaruh telapak tangannya di atas punggung tangan si lelaki tua. “Biarkan aku berbicara dengannya, kupastikan keberadaanmu tidak akan terancam.”

 “Kau memang bisa memastikan, tetapi dia tidak.”

Aku berdecak dan merasa muak dengan sikapnya yang terlalu keras kepala. Kutarik dirinya dari depan cermin diri, lalu mendudukannya secara paksa di atas sofa yang selama beberapa tahun telah membuatku nyaman. Ia memberontak, berusaha mendorongku ke perapian. Namun dengan cekatan aku menghindarinya, dan berlari secepat kilat ke depan cermin diri.

Perkelahian dalam angan itu berlangsung sangat cepat. Sesaat kemudian, akhirnya aku sampai di tempatku sebenarnya, di tubuh ringkih yang kemungkinan siap ditimbun tanah. “Halo, Rita. Saya Dilan. Bantu saya mengistirahatkan Ronald, ya? Ia sudah terlalu banyak berkontribusi dalam hidup saya. Saya takut ia mati kelelahan.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendakian Sehari di Gunung Ungaran Jalur Basecamp Mawar

Perjalanan hiking di Gunung Ungaran akan menjadi memori yang tak terlupakan bagi saya. 

NOVEMBER: MENYAKSIKAN DISTOPIA YANG TIDAK DIINGINKAN

RESENSI SINGKAT 1984 Karya George Orwell War is a peace. Freedom is slavery. Ignorance is strength.

2019 SAID, "IT'S NEVER TOO LATE TO LOVE AND APPRECIATE YOURSELF"

Dear me, You  are good enough.